Oleh Maria Fifi Yanti, M.I.Kom
Dosen STAI Darul Hikmah Aceh Barat
Di tengah derasnya arus informasi digital, buku perlahan tergeser dari ruang kognitif kita. Ia kini bukan lagi sumber utama pengetahuan, melainkan benda nostalgia yang dilirik hanya sesekali. Padahal, dalam sunyi halaman-halaman buku itu dulu kita belajar berpikir runut, membangun empati, dan merawat nalar.
Buku tak pernah kehilangan daya sihirnya. Hanya saja, sihir itu kini terkubur oleh arus digital yang mendewakan kecepatan dan instan. Kita hidup di zaman serba singkat: berita dipadatkan dalam 280 karakter, opini dibingkai dalam video 30 detik, dan literasi diringkus oleh scrolling tanpa henti.
Literasi bukan sekadar kemampuan mengenali huruf dan kata, melainkan proses kompleks memahami makna, menganalisis, dan merefleksi. Sayangnya, kemampuan inilah yang terus merosot. Gejala ini menunjukkan hasil Studi Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis OECD pada 2022 dinyatakan bahwa lebih dari 70% siswa Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 80 negara atau posisi ke-12 terbawah dalam daftar dengan total skor 1.108 kesulitan memahami bacaan yang sedikit kompleks.
Mereka tidak hanya gagal menjawab soal, tetapi juga gagal menangkap konteks dan pesan utama dalam teks yang dibaca. Ironisnya, penyebab utama degradasi ini bukan lagi soal akses terhadap buku, tapi lebih pada perubahan budaya konsumsi informasi.
Dalam jurnal The Reading Brain in the Digital Age yang dipublikasikan oleh Science Daily menyebutkan bahwa membaca dalam format digital jangka panjang dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan memperdalam pemahaman.
Ini disebabkan karena otak memproses teks digital secara berbeda dibanding teks cetak. Kita lebih cepat lelah, lebih mudah terdistraksi, dan cenderung membaca secara dangkal.
Bukan itu saja, penelitian jelas menunjukkan dalam bukunya Jim Trelease dengan judul “The Read Aloud Handbook” menyatakan bahwa kita membaca lebih lambat (6 hingga 11 persen) dari layar ketimbang dari kertas.
Satu sebab tampaknya menjadi kekurangan fisik secara permanen yang menonjol dari sebuah laman kertas yang seperti area dengan tanda tepi jalan, tulisan di elektronik itu seperti samudra, sulit dinavigasi.
Dengan lain kata, membaca dari kertas lebih merangsang banyak daerah di otak yang berhubungan dengan emosi dan pengingatan kembali terkait ruang, sehingga meninggalkan “jejak yang lebih dalam”.
Kita juga mesti mencermati satu hal, menurunnya minat baca bukanlah masalah generasi, melainkan masalah desain ekosistem. Lingkungan pendidikan masih memperlakukan buku sebagai objek evaluasi bukan sebuah pengalaman.
Siswa membaca untuk menjawab soal, bukan untuk memahami hidup. Di sisi lain, media sosial mendesain konten untuk memikat perhatian, bukan menyuburkan pemahaman. Akibatnya, ruang batin yang seharusnya menjadi tempat kontemplasi dan pencarian makna kini dipenuhi distraksi.
Buku, sebagai simbol dari proses berpikir panjang, tersisih oleh klip video, utas viral, dan meme.Di sinilah peran negara, institusi pendidikan, dan keluarga menjadi sangat krusial. Literasi harus dibangun secara sistemik dan berkelanjutan, tidak cukup melalui lomba membaca atau seremoni Hari Buku Nasional semata.
Perpustakaan sekolah harus dihidupkan kembali sebagai pusat belajar, bukan gudang buku yang terus dilapisi debu zaman. Guru dan orang tua harus menjadi contoh pembaca aktif, bukan hanya pemberi tugas. Sebab demokrasi hanya akan berkembang disuatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekedar pendengar dan gemar berbicara.
Kita tidak sedang berperang melawan teknologi. Yang kita hadapi adalah bagaimana menjadikan teknologi sebagai alat, bukan sebagai ruang tinggal utama nalar kita. Buku harus kembali diperjuangkan, bukan sebagai benda antik, tapi sebagai praktik kebudayaan.
Membaca buku berarti memberi waktu bagi diri sendiri untuk berpikir lebih dalam, lebih pelan, dan lebih manusiawi.Maka, jika bangsa ini ingin benar-benar cerdas, langkah pertamanya sederhana: kembalilah membuka buku. Bacalah dengan perlahan. Resapi. dan pikirkan.
Selamat Hari Buku!
Aceh Barat – Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Hikmah Aceh Barat yang sedang…
Meulaboh, 14 Mei 2025 – Bupati Aceh Barat, H. Tarmizi, S.P., M.M., menerima kunjungan audiensi…
Nagan Raya — Satu lagi kabar membanggakan datang dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul…
Aceh Barat, 3 Mei 2025 — Dalam semangat memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, kabar…
Arongan Lambalek – Pemerintah Kecamatan Arongan Lambalek menyambut kedatangan 37 mahasiswa Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM)…
Tripa Makmur – Sebanyak 25 mahasiswa dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Hikmah Aceh…